Ce Fiksi Kehidupan: Sumur di ladang | Celoteh tentang seorang lalaki kecil belajar menempuh hidup

Sabtu, 26 April 2008

Sumur di ladang

Kalaulah ada sumur diladang
bolehlah kita menumpang mandi....

Andai saja dunia hanya sebuah sumur di ladang, tetap saja tak setiap saat aku mandi. Bahkan aku tak cukup mampu untuk melihat jernih atau keruh airnya. Seringkali aku berpikir, jangan-jangan aku hanyalah kebetulan mampir, bukan karena ingin mandi.

Huuuh...
Mengapa aku malah mengeluhkan itu. Bukannya berpikir, gatal-gatal di badanku akan hilang atau bertambah parah bila mandi disitu.

Aku tak suka basa-basi. Makanya aku jenuh dengan dunia yang terlalu banyak prosesi. Berawal dari bapak dan ibuku berniat untuk berproduksi, sudah dimulai dengan resepsi. Sel telur ibuku mulai membelah diri diterjang sperma bapak, lalu empat bulan, tujuh bulan sampai aku melihat mentari. Mereka sibuk lagi mengadakan seremoni.

Aku ulang tahun, sunatan, jadian, pacaran, menikah, punya anak sampai aku mati suatu saat nanti. Selalu ada upacara tak berguna dengan berbagai istilahnya. Selamatan, syukuran, tahlilan, anak setan, dll dll... pokoknya makan-makan.

Shittt...
Ternyata kita cari duit sepanjang hidup hanya untuk membiayai cacing perut berpesta pora.

"Asuuuu...." tetanggaku berteriak.
"Kenapa, blay..?" aku ikut berteriak.
"HPku ilang..!!"

Hmmm...
Hidup ini indah, tapi kenapa banyak yang berkeluh kesah.
Tetanggaku berteriak HPnya ilang di jalan. Temanku menggeram istrinya ngajablay. Aku sendiri mendengus ketikanku ditelan listrik anjlok sebelum tekan tombol save. Sampai bayi merah di sebelahku sudah pintar mengaum cuma karena nenen ibunya bau rokok.
Hidup memang bejad..!!!

Kalaulah ada umur yang panjang
bolehlah kita mengumpat lagi...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

huehuehue .... malahan ada seorang anak menyuruh Ayahnya meLonte. hohoohoh Indahnya hidup