Ce Fiksi Kehidupan: Yang Kembali | Celoteh tentang seorang lalaki kecil belajar menempuh hidup

Minggu, 27 April 2008

Yang Kembali

“Win, kembalilah untukku,” ucapan itu meluncur perlahan dari bibir mungil itu.

Aku hanya mendesah pelan. Kutarik nafas dalam-dalam seraya meluruskan punggung di potongan kayu lapuk. Ucapan itu… Ya, kata-kata itu pernah kudengar dua tahun lalu. Di tempat yang sama, dari bibir yang sama, tapi hati yang kurasakan berbeda.

“Win, kembalilah untuk mereka,” sambungnya.

Aku menggeleng. “Tidak, Fie.”

“Mereka butuh kamu, Win..”

“Tapi aku butuh, hatiku,” lugas aku menjawab sambil menatap wajah yang tertunduk di hadapanku. Ku telusuri setiap pori-pori di wajah resah itu. Ada gundah, ada sesal, kecewa dan semuanya itu berbalut rindu.

Agak lama gadis itu terdiam dalam genangan air mata yang tertahan. Sejurus dia mengangkat muka, “kamu egois…”

“Aku..?” tanyaku setengah berteriak. Kuremas ranting kering dalam genggaman dan bangkit berdiri. “Setahun lebih aku memendamnya. Dan kamu tahu itu kan, Fie..? Selama itu aku mampu bertahan demi tujuan yang kamu katakan mulia. Dan tak tahunya aku hanya menggenggam alasan kosong. Kamu yang egois.!!!”

Kali ini butiran-butiran bening itu mulai meluncur turun dari kedua lubuk mungilnya. Tapi aku tak peduli. Kakiku melangkah meninggalkan halaman bertaman kecil itu. Di ambang tangga aku berhenti dan memutar tubuh ke arahnya. “Kembalilah segera. Sebentar lagi gelap. Atau kamu akan pulang ke kota jalan kaki? Maaf, gubukku terlalu kecil untuk berteduh berdua dengan perempuan egois seperti kamu.”

“Terima kasih atas kunjungannya,” sambungku sambil berjalan menaiki tangga kayu ke rumah panggung mungil di puncak bukit kecil. Sejenak aku sempatkan memeriksa minyak lampu teplok di atas meja. Lalu ku hempaskan pantat tipisku ke bangku kayu.

Aku terus terdiam hanyut dalam bayangan-bayanganku sendiri. Tak peduli Sofie masih duduk di kayu roboh depan padepokanku atau sudah beranjak pergi. Yang pasti, terasa sekali hatiku masih sakit walau sudah sekian lama kubawa pergi menyepi ke puncak bukit ini.

Dulu aku dan Sofie bergabung dengan kelompok pendaki yang bernama GSP. Organisasi yang begitu terkenal dengan satuan SARnya dan selalu menjadi ujung tombak disetiap kegiatan kemanusiaan. Dari sekian banyak anggotanya, ada atuan khusus yang teramat militan terdiri dari dua regu inti dan satu regu cadangan. Dan aku adalah salah satu ketua regunya.

Dalam perjalanan hidup berkelompok itu aku jatuh cinta pada gadis manis bernama Sofie yang sejak siang tadi menyambangi tempat persembunyianku. Aku ungkapkan perasaan itu dalam suatu kesempatan, dan dia pun mengerti akan perasaanku..

Namun semangat korsa gadis itu lebih besar daripada perasaannya. Sofie menjawab tegas, “aku mengerti perasaanmu dan juga perasaanku. Tapi ada yang lebih penting dari semua itu, Win. Kesatuan kita, tak boleh terpecah dan harus tetap utuh.”

Walau teramat berat, aku bisa menerima kenyataan itu. Ternyata Riko, pejabat tertinggi di GSP pun memiliki rasa yang sama denganku. Dia sudah lebih dulu menyampaikan itu kepada Sofie. Sebelum Sofie memberikan jawabannya, akupun datang menyampaikan cinta.

Kulihat mata polos itu begitu jujur ketika berkata bahwa dia menunda jawaban untuk Riko hanya karena hatinya condong kepadaku. Namun ketika aku menyapanya, kenapa pikirannya berubah cepat. Dia tak ingin aku dan Riko yang selama ini begitu solid di setiap penugasan jadi terpecah hanya gara-gara sepotong hati.

Aku sedih, namun aku juga tak ingin terkalahkan kesetiaanku pada kesatuan oleh seorang gadis kecil itu. Aku terima semuanya dengan lapang dada. Sampai suatu saat, dalam acara gladian di lereng gunung Slamet Sofie terpisah dari rombongan. Dia tersesat entah kemana.

Seluruh pasukan yang ada dibantu dari kelompok lain ikut mencari. Dan dia ditemukan dua hari berikutnya di lereng tebing terjal. Dia terkilir dan bertahan di akar-akar pepohonan di tepi jurang menganga sampai Riko menyelamatkannya.

Hanya itulah awal mulanya walau aku menyebut sebagai akhirnya. Penyelamatan itu menuntut penyelesaian sampai ke dalam hati. Tak kuasa aku melihat kehancuran harapanku di depan mata. Aku memilih mundur dari GSP dan menyepi di puncak bukit ini.

Siapa menyangka kepergianku malah membuat GSP terpecah. Secara organisasi Riko memang memegang kendali penuh terhadap anggota. Tapi dalam hal kedekatan hati dan kebersamaan di lapangan, aku lah panutan mereka. Setelah hampir empat bulan kelompok itu acak-acakan, Sofie datang kepadaku dengan segala sesal dan maafnya. Dia memintaku kembali dan menyatukan mereka seperti semula. Tapi aku tetap pada pendirianku.

---------

Itu kejadian dua tahun yang lalu. Dan senja ini, Sofie datang lagi ke gubuk mungilku. Dia juga memintaku kembali. Tapi permintaannya kali ini adalah untuk dia, bukan untuk mereka. Sedikit gugup bercampur gagap aku mendengarnya.

“Eh, kita masuk yu,” ajakku mencoba memecahkan suasana. “Sini, ranselnya aku yang bawa.”

Aku angkat tas punggung itu dan membukakan pintu. Sofie gontai melangkah mengikuti lalu duduk di kursi kayu. Tampak sekali dia kelelahan berjalan kaki dua kilo lebih menuju tempatku ini.

“Sebentar ya, aku ambilkan minum,” ucapku ketika melihat botol air di gantungan samping ranselnya tampak kosong.

Sofie mendahului bangkit dan memegang tanganku. “Eh, jangan, Win. Biar aku saja.”

“Jangan dong, kan aku tuan rumahnya.”

“Engga papa, aku saja. Sekalian aku bikinin kopi ya?” tukasnya bersikeras. “Masih suka kopi pahit dengan gula jawa, kan? Eh, punya persediaan engga? Aku bawa kok di ransel”

Hmmm… dia masih saja ingat kesukaanku dulu. Sofie memang bagian logistik di GSP. Dia perhatian sekali ke semua orang. Sampai hal-hal terkecilpun sering dia siapkan ketika ada penugasan. Setiap orang harus dikasih perhatian, biar tetap semangat, begitu katanya dulu. Terasa sekali kebenaran kata-kata itu. Dan perhatian itu pula lah yang dulu mampu membuat hatiku tercuri. Tak pernah bisa hilang sampai kini.

Aku pun tetap terdiam memperhatikan kegesitan yang masih saja ada di sosok indah itu. Tak hanya membuat kopi, gelas-gelas dan perabotan kotor di dapur kecilku pun segera tertata rapi. Heeei, kenapa aku terus saja tenggelam dalam diam..?

---------

Bagaimanapun juga aku tak bisa membohongi diri. Seringkali aku melamun dan membayangkan Sofie ada di setiap waktu sepiku. Rumah kayu mungil ini begitu kotor dan berantakan tak pernah aku urus dengan baik. Dan hatikupun terasa beku tanpa kelembutan seorang perempuan. Hari-hari hanya diisi celoteh-celoteh riang anak-anak kecil di kebun sayuran sekeliling tempatku.

Ketika kabut gunung mulai turun menjelang mentari kembali ke peraduan, kesunyian ini terasa sekali menyergap sampai ujung-ujung hatiku. Dan sore ini, kesunyian itu tiba-tiba menghilang entah kemana. Sampai tak sadar aku tersenyum sendiri terhanyut kenyataan mimpi itu. Aaah, andai saja dia selalu ada disini..?

Hei, tapi tadi dia berkata kembalilah untukku..? Kenapa tidak aku tanyakan maksudnya? Benarkah dia datang membangunkan aku agar tidak terus menerus bermimpi dan berkata kalau harapan itu nyata memang ada. Benarkah..?

---------

Kabut malam sudah lenyap diterpa angin gunung. Bulan setengah purnama mengantung indah di atas cakrawala. Nyanyian jangkrik dan tongeret hutan bersahutan menangisi desau angin yang mulai menusuk tulang. Biasanya aku mencari kehangatan di depan perapian sambil menunggu kantuk menjemput lelahku.

Tapi malam ini, aku duduk di halaman rumah beralaskan kayu lapuk pohon tumbang bersama Sofie. Ditemani dua gelas kopi panas dan beberapa tongkol jagung di atas api unggun. Aku jadi terbawa suasana, terkenang malam berlalu setiap perkemahan dahulu. Bercerita, bercanda, bernyanyi dan tertawa. Aku sungguh tak menyangka semua itu bisa kembali saat ini.

Sampai akhirnya aku tak kuasa menahan ganjalan hati tentang ucapan Sofie sore tadi. Sambil mengangkat tongkol jagung dari api aku bertanya, “Fie, bener kamu ngajak aku pulang ke kota?”

Yang ditanya malah menggeleng pelan. Waduh, wajah cerianya kok berubah sedikit muram. Perasaan aku tidak bicara yang aneh..?

“Lho, trus maksud kamu tadi siang apa?” tanyaku lagi.

“Aku tidak mengajak kamu kesana kok, Win,” jawabnya setelah menarik nafas panjang.

“Maksud kamu bagaimana? Aku malah bingung nih.”

“Berat banget, Win,” ucapnya lirih. “Aku tak tahu harus memulainya darimana.”

Perasaanku mendadak tak enak, apalagi setelah melihat kabut tebal hadir di roman mukanya. Agak lama aku saling tatap dalam diam. Di mataku, tatap itu seolah mengungkapkan hati yang begitu lemah dan butuh sandaran. Tanpa sadar kuusap helai rambutnya. Dan entah bagaimana awalnya, Sofie kudapatkan terisak dalam pelukanku.

“Bicaralah, Fie. Jangan bikin aku merasa asing. Sofie yang aku kenal bukanlah perempuan lemah,” aku coba membujuknya. “Sebenarnya ada apa? Siapa tahu aku bisa bantu..”

“Aku merasa berdosa kepadamu. Dan aku juga bingung harus bicara darimana..” bisiknya disela tangis.

“Ayolah, kamu pasti bisa. Aku cuma ingin tahu, kenapa kamu ingin aku kembali.”

“Tapi aku takut kamu tidak bisa menerima kalau aku katakan.”

Aku mencoba tersenyum, “Aku sudah berpikir panjuang sejak tadi, Fie. Aku kesepian disini. Aku ingin kembali ke alam ramai. Rasanya sudah cukup lama aku lari dari kenyataan. Dan nyatanya, tidak ada yang aku dapatkan dalam pelarianku ini. Kita kembali besok siang, ok?”

“Tidak, win…” jawabnya agak keras kali ini. “Aku hanya ingin kamu melupakan luka yang aku buat dulu. Dan jangan usir aku lagi dari sini, Win..”

“Lho, maksudmu..?” keningku sedikit berkerut. “Kamu mau tetap disini? Bagaimana dengan Riko?”

“Riko sudah meninggalkan aku, Win…”

Sejenak aku tertegun. Tapi tetap kuusahakan tersenyum,” Ok, ok. Jangan bahas itu kalau memang membuat kamu sakit. Kamu juga harus tahu, sejujurnya sudah sejak lama aku merindukan itu. Cuma aku tak berani berbuat apa-apa selain diam, karena aku tahu itu keinginan yang jahat. Tenanglah, Fie… Tidak ada kata terlambat kok. Kita bisa mulai lagi dari awal.”

“Iya, aku yakin kamu belum berubah, Win. Tapi…. Aku takut.”

“Hei, sudah dong,” kuusap air mata di pipinya dengan ujung jari. “Senyumlah, Fie. Kalau memang itu harapanmu, jangan sedih dong. Aku sudah memelukmu dan takkan melepaskanmu lagi. Tidak ada yang perlu kamu takutkan lagi. Ayo dong, tersenyumlah untukku.”

“Tapi, Win. Aku takut. Riko…”

Waduh, tangisnya mulai lagi. Ternyata memahami perasaan perempuan lebih sulit dari yang aku kira. Kupeluk dia lebih erat dan kucium hitam rambutnya.

“Kenapa, Fie..? Riko sudah pergi dari kamu kan? Lupakanlah. Apa dia masih menyimpan dendam?”

Sofie mengangkat kepala menatapku dalam linangan penuh harap. “Tapi kamu janji kan, mau menyayangi dan melindungiku kalau aku…”

Kupotong ucapannya dengan menaruh telunjuk di bibir mungilnya. “Aku sudah bilang tadi, Fie. Takkan kulepaskan kamu dari pelukanku. Jangankan Riko yang hanya pintar berteori itu. Macam gunung turun malam ini pun akan aku hadapi. Percayalah..!”

“Benar, Win..?”

“Ya,” jawabku sambil mengangguk mantap. “Katakan dendam Riko, Fie.”

“Pengecut itu tidak dendam, Win,” jawabnya lirih. “Tapi, dia pergi… setelah aku serahkan segalanya…“

Tangisnya meledak lagi

Tidak ada komentar: