Ce Fiksi Kehidupan: Seorang Teman | Celoteh tentang seorang lalaki kecil belajar menempuh hidup

Jumat, 25 April 2008

Seorang Teman

Adalah seorang teman. Sebut saja namanya Nunu. Usahanya gulung tikar karena kepolosannya dalam berbisnis dan tertipu sampai akhirnya hutang ratusan juta yang tersisa. Temanku itu berusaha sekuat tenaga menutup semua beban yang sebenarnya bukan tanggungan dia.Dia lari dari satu tempat ke tempat lainnya mengikuti jalan rejekinya hanya untuk bisa segera bangkit dari keterpurukan.

Istrinya, sebut saja Rara yang setia pun turut serta mencari nafkah untuk menopang kehidupannya sehari-hari dengan seorang anaknya. Diapun berharap sang suami bisa bergerak lebih cepat agar semuanya tertutup dan bisa memulai segala kehidupannya dari titik nol.

Setahun berlalu. Segalanya mulai berubah. Sang suami mulai letih dengan kucuran keringatnya yang hasilnya selalu habis entah buat siapa. Sang istri pun mulai jenuh dengan kesibukan yang sebenarnya bukan tanggungjawabnya. Sementara belaian sayang dari sang suami jarang sekali dia terima karena jarak memisahkan.

Pucuk dicinta ulam tiba.
Datang uluran tangan disertai senyum manis dan janji-janji indah dari seseorang pada Rara. Bagai orang kehausan di gurun gersang, godaan-godaan itu akhirnya mampu menggoyahkan hati Rara. Perlahan-lahan dia mulai belajar mengikis bayangan Nunu yang masih saja terus mengejar ketertinggalannya.
Sampai akhirnya suatu saat Nunu pulang dan mendapati istrinya telah pergi. Diraihnya Rio, anak semata wayang yang menatapnya sayu sembari bertanya "ibu dimana ayah?"

Nunu tidak mengeluh. Biarlah kehidupan berjalan berbeda, "hanya kau asaku dalam hidup, anakku..."

Waktu kembali berjalan. Nunu masih terus berlari mengejar masa depan. Sampai suatu pagi yang cerah, sudut matanya menangkap bayang-bayang Rara di seberang jendela.
Nunu berlari ke depan pintu dengan tatapan haru, membuka hati dan kedua tangan lebar-lebar ingin menyambut sosok ibu dari anaknya.

Rara menepis uluran tangan Nunu lalu memeluk Rio sambil berkata, "Aku ambil anakku..."
"Kenapa?" Nunu sedikit tercekik.
"Aku yang melahirkan dan membesarkan, kau hanya tahu mencari uang tanpa mau tahu lelahnya seorang ibu."
"Aku ayahnya... kau tega meninggalkan anakmu hanya untuk mengejar kesenanganmu... Aku juga memeras keringat untuk anakku..."

"Carilah uang yang banyak untuk anakmu, tapi biarkan aku yang mengasuhnya. Kasih sayang seorang ibu lebih dibutuhkan oleh seorang anak daripada perhatian ayah.."

Rara pun berlalu membawa Rio.Tinggalah Nunu terpekur kehilangan asa. "Haruskan aku setia menantimu kembali..?"

“Tidak perlu, kak.”

Ada suara lembut menyapu kegundahan Nunu. Mata sembabnya berputar perlahan menerpa sosok lembut di depannya.

“Tina..” bisik Nunu perlahan.

Perempuan yang selama ini mengasuh Rio bila Nunu pergi mencari rejeki itu duduk di bangku kayu tak jauh dari Nunu. Seulas senyum teduh menyejukan mengembang di bibir mungil itu.

“Saya tahu yang kakak rasakan” ucapnya. “Saya juga merasa kehilangan Rio.”

“Sudahlah, Tina, bagaimanapun dia ibunya.” Nunu memaksakan tersenyum membuang raut pedih di wajahnya.

“Tapi kan tidak begitu seharusnya, kak. Rio juga lebih bahagia bersama ayahnya.”

Nunu hanya menghela nafas panjang menatap kosong ke ujung jalan. Dan sepasang bola mata indah terus memperhatikan lelaki di hadapannya mencoba memberinya kekuatan pada hati yang terluka itu.

“Kakak tidak boleh sedih, ya. Bangkitlah, kak. Buktikan kakak mampu menunjukan kebersihan hati kakak, paling tidak kepada Yang Di Atas Sana. Percayalah, suatu saat Rio akan kembali kepada kakak.”

“Tapi, saya tak mungkin bisa menghapus Rio dari hidup saya.”
“Kak, beban kakak sekarang ini teramat berat. Jangankan mengendongnya, untuk berdiri saja kakak sudah tidak mampu. Letakkanlah beban itu, kak”

“Tidak mungkin, Tina. Rio adalah sumber harapanku.” Desah Nunu sambil menunduk dalam.

“Kakak..” Tina berucap perlahan. “Hanya sementara, kak. Dengan melepas beban itu, kakak bisa bangkit dan berlari menuju kehidupan baru. Setelah kakak merasa kuat, kembalilah. Ambil beban itu dan bawalah serta.”

Nunu terdiam agak lama. Tapi kemudian mengangguk lalu bangkit berdiri. “Baiklah, Tina. Saya akan berusaha untuk itu. Tolong bantu saya, ya..”

“Saya pulang dulu ya, kak.” Tina mengangguk dan ikut berdiri lalu mengulurkan bungkusan tas plastik hitam kepada Nunu. “Ini kak, tadi saya beli makanan buat Rio. Kemarin Rio bilang ingin makan serabi. Buat kakak saja ya”

Tina berjalan menuju rumahnya di seberang jalan. Nunu terpaku menatap perempuan itu sampai lenyap di balik pintu. Ada yang berdesir halus dalam dadanya. “Kamu yang terbaik buat Rio, Tina…”

Tahun berganti. Nunu benar-benar bisa bangkit dari keterpurukannya. Dan semua itu tak lepas dari dorongan dan bantuan moral dari Tina. Sampai akhirnya, Nunu memutuskan untuk menikah dengan gadis pujaannya itu.

Saat itu senja mulai temaram. Langit berhiaskan awan lembayung sepanjang ufuk barat. Nunu duduk berdua bersama Tina membicarakan rencana mereka. Ketika tiba-tiba,

“Ayaaaah…..”

Keduanya tersentak dan sejenak terpaku.

“Rio kembali, kak.” Ucap Tina setengah berteriak.

“Benarkah..?” Nunu masih belum begitu sadar dengan yang didengarnya.

“Ayaaah…” suara itu terdengar kembali.

Nunu bangkit dari keterpanaannya, lalu melompat menuju pintu. “Kamu benar Tina, Rio kembali..”

“Ayah, Rio kangen ayah,”

Nunu memeluk jagoannya erat tanpa mampu bicara sepatah kata. Mata dan hatinya bersimbah air mata bahagia. Sementara Tina pun turut hanyut dalam kebahagiaan itu.

Ternyata ketegaran hati itu bisa menuai kebahagiaan. Buah hatinya kembali di saat keindahan lain sudah menanti.

“Sama siapa Rio pulang?” tanya Nunu setelah emosinya sedikit terkendalikan.

Sebelum sempat Rio menjawab, terdengar suara lemah di ambang pintu.

“Saya kembali, Yah… Maafkan kesalahan saya selama ini. Saya sadar, ternyata yang terbaik buat saya dan Rio hanya ayah.”

“Rara…” Suara Nunu tertahan di tenggorokan.

Rara yang masih berdiri di depan pintu melangkah masuk.

“Ayah masih menerima kami berdua kan, yah..? Demi kebahagiaan Rio, Yah. Demi Rio…”

“Demi Rio…” Aku pun turut mendesah pelan berselimut tanya.

Sidareja 06012008 01:30

Tidak ada komentar: